24 January 2007

Belajar dari Gergaji Tumpul

Refleksi untuk Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas diri

بسم الله الرحمن الرحيم فاعتبروا ياأولى الأبصار. وما يكر إلا أولوالألباب

Ambillah i'tibar wahai ulil absor... tidaklah


Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Al Hasyr:2) Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). ( Al Baqarah: 269)

Karu­nia ketajaman akal yang diberikan kepa­da manu­sia. Se­hing­ga Allah mem­berikan ilham dan pengetahuan kepa­da mereka yang dike­henda­kiNya. Sa­lah contoh adalah hasil renungan seo­rang ula­ma yang mem­perhatikan ba­gai­­ma­na orang yang meng­gergaji se­buah ka­yu namun karena gerga­­jinya tumpul sehingga tidak kayu itu tidak mampu dipo­tong namun masih terus saja orang-orang tidak putus asa meng­ger­gajinya. Dari re­nung­an ini ke­mudian dapat diam­bil hikmah yang men­dalam.

Model kita ketika mema­hami ayat diatas yang artinya: “Ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Al Hasyr:2) boleh jadi merupakan perintah berpikir, merenung dan berkontemplasi terhadap kejadian-kejadian di sekitar kita. Sehingga setiap kejadian merupa­kan pelajaran yang akan masuk ke pintu ilmu di dalam hati.

Gergaji Tumpul
Salah satu contoh berpikir adalah seperti ketika kita melihat orang meng­ger­gaji kayu. Mestinya tahu, bahwa de­ngan be­sar­nya kayu yang sedang digergaji dan kemam­puan gergaji yang tengah dipakai, kekuatan orangnya bisa di­pre­dik­si waktu yang diperlukan pa­ling lama 2 jam sele­sai, tetapi kena­pa hingga 10 jam tidak selesai-selesai.

Kita bisa bertanya kepada orang yang tengah menggergaji: “Ke­­na­­pa sih mang, ‘gak’ kelar-kelar?” “Gergajinya tumpul!” jawabnya. “Coba kalau istirahat dulu, gergajinya diasah paling ½ jam, mulai lagi pasti selesai dengan bagus dan cepat.”

Mengasah Gergaji Jiwa
Gergaji pisik yang digambarkan tadi, hampir mirip dengan kemampuan ger­gaji jiwa yang kita miliki. Sebab tidak beda jiwa yang tajam akan mampu meng­­atasi masalah “kayu-kayu gelon­dongan” yang berserakan di sekitar kita. Kayu gelondongan itu bisa saja masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, ma­salah hu­bung­an sosial. Semuanya itu mesti harus dihadapi dengan ketajaman hati, sehingga hasilnya akan bermanfaat sebagaimana kayu gelondongan yang sudah digergaji, hasil­nya bisa menjadi papan dan kaso. Tentu bermanfaat untuk jen­dela, pintu dan lain-lain.

Agar gergaji jiwa bisa tajam dalam meng­hadapi masalah problem yang berse­rakan dimana-mana, maka se­ring-sering­lah kita mengasah ger­gaji jiwa. Janganlah waktu­nya diha­biskan untuk berpusing-pusing, se­per­tinya jalan di tem­pat. Karena urusan dunia itu sifatnya jalan di tempat tidak kemana-mana. Karena itu bagai­mana meng­asah gergaji se­tidaknya ada 4 dimen­si agar gergaji itu bisa tajam dan berdaya guna efektif:


Pertama: Dimensi Pisik
Gerinda apa yang diperlukan untuk meng­asah jiwa ini? Ja­wabnya adalah dengan memper­ba­nyak shalat kare­na otot-otot yang ada di dalam tu­buh me­mer­lukan ke­kuatan dan pisik memer­lukan tasbih. Ka­re­­na­nya ja­ngan ting­galkan shalat tas­bih setiap hari.

Atau dengan cara mengikuti cara Habib Lutfi dimana beliau mem­biasakan shalat ibarat olahraga tan­pa hitungna rakaat. Karenanya, bia­sa­kan saja sering-sering menge­luarkan keringat seperti di ruang­an sendiri, di kamar, di masjid, di mu­sho­la. Kebiasaan ini merupakan dimensi psikis. Itu saja dulu dibiasakan:

العقــل السـليم فى جسم الســليم
Artinya: “Akal yang saliim terdapat di dalam jiwa yang saliim.”

Saliim biasanya diartikan sehat. Jadi jiwa sehat lahirnya dari tubuh yang sehat. Sepertinya, jika sehat diciptakan dari shalat tentu lebih baik dari gerakan olahraga lainnya. Karena itu tidak salah, jika lari-lari pagi atau sore diganti de­ngan shalat. Orang-orang aliim yang pe­nulis kenal sudah mempraktekkan teori ini misalnya: Habib Lutfi bin Yahya (Peka­long­an), Buya Dimyati Banten (alm), KH. Mufassir (Banten), dan KH. Hamid (Ps. Minggu). Jumlahnya bisa 100 rakaat atau lebih. Da­ri pe­nga­laman priba­di guru kita, Ust. H. Abu Bakar, sering­­kali berganti kaos hing­­ga tiga kali kare­na banyak­nya keringat yang ke­luar dari tubuh, jika shalat malam.

Tulang Bisa Kuat

Ketika masih sehat, hidup kita masih ditopang oleh tulang, bagaimana nanti jika tulang keropos siapa yang meno­pang. Niscaya akan bongkok, lemah lunglai, bagaimana penang­gulangan­nya yaitu dengan cara memperbanyak shalat. Apa saja shalatnya bebas. Thariqah memiliki dzikir tertentu tapi syariah me­ng­ajarkan agar memperbanyak sha­lat. Inni merupakan aplikasi dari me­ng­­ikuti thariqah. Karena itu mengikuti tha­ri­qah adalah dengan cara memper­ba­nyak praktik daripada dzikir. Sperti shalat misalnya.

Kedua : Dimensi Mental
Mental sesorang terbentuk oleh pendi­dikan formal, begitu sudah selesai seko­lah, mentang-mentang tidak ada ujian, tidak pernah baca, tidak pernah dengar, akhirnya merasa benar sendiri. Karena itu mental seperti ini perlu dirubah yaitu dengan cara sering mendengar, mem­ba­ca, ber­tanya. Inilah cara meng­asahnya.

Jadi jangan banyak waktu dipergunakan untuk melamun apalagi menghayal, melainkan pergunakan mental kita agar lebih tajam sehingga jiwapun ikut tajam, hatipun ikut tajam. Jika sudah tajam maka dimensi mental selalu-siap-setiap-saat. Jika dimensi mental ini dimiliki dan dipergunakan maka akan terasa kesegaran hidupnya, buktikan! Bukan saja ilmunya bertambah, amalnya pun ikut bertambah dan yang menarik ba­nyak hal-hal baru didapat. Karena itu dimensi mental ini perlu diasah. Jangan sampai dimensi mental ini berhenti mes­kipun tidak ada ujian.. Sebagaimana ungkapan hikmah berikut:

أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّحْدِ

Artinya: ”Tuntutlah ilmu semenjak buai­an hingga ke liang lahat.”

Karena menunut ilmu tidak boleh berhenti hingga ke kubur, Rasulullah saw mewajibkan setiap muslim. Ini ada­lah dimensi mental yang mesti dilak­sanakan oleh setiap mulsim. Jadi jika hidupnya lebih bermakna maka asahlah dimensi mental melalui belajar!

Ketiga: Dimensi Spiritual
Dimensi ini paling penting. Karena nilai manusia, fokus manusia, dan nilai hi­dup­­­nya adanya di dalam spiritual; Mak­na spiritual ini bisa diperoleh mana­kala kita bisa merasakan bagaimana shalat yang nikmat; bagai­mana dzikir yang nik­mat. Justeru itu akan terbentuk jika kita pandai mengasahnya. Setiap manu­sia ber­potensi untuk menja­lan­kannya, dan hasilnya pun berbeda-beda biasanya dise­­but de­ngan pengalaman spiritual.

Dalam kitab Al Hikam diceritakan ada orang yang merasakan nikmatnya shalat setelah mengerjakan selama 20 tahun, ada yang membaca Al Qur’an merasakan nikmatnya setelah mendawamkan sela­ma 15 tahun. Jadi, dimensi spiritual ini akan tercipta dengan sendirinya mana­kala beristiqamah dan bersabar.

Keempat: Dimensi Sosial Emosi
Manusia sebagai makhluk sosial atau bermasyarakat mestinya mengerti dan menyadari hidup. Silahkan ikut arus tapi harus mampu dan ikut berenang. Sebab zaman sekarang tidak kuat mela­wan arus; Sama persis dengan arus gelom­bang laut yang tidak me­nentu: kadang besar, kadang kencang bahk­an menjadi tsunami. Agar jangan sampai menjadi korban arus laut, segera menepi dengan cara berenang. Celakalah mereka yang tidak bisa berenang. Cara berenangnya menggunakan Baju Taat seperti nasehat Luqmanul Hakim pada puteranya:

المــــلح الطــــــا عات
Artinya: Baju renangnya adalah taat!

Arus deras kini sudah masuk ke ruangan kita dan telah menjadi kebiasaan keseharian. Ahir­nya tidak heran, ketika anak dila­rang nonton TV ia akan lari ke tetang­ga. Jadi kita mesti ber­pacu dengan dajjal-dajjal yang masuk ke ruangan kita. Akhirnya kita mesti me­ngerti bagaimana cara hidup dan harus belajar terus-menerus bagai­mana cara berenang.
Wallahu A’lam (MK)

Menjadi Anggota Keluarga Nabi | Nasabi - Sababi


Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus." (QS. Al Kautsar: 3)
Bersyukur atas nikmat agung dengan diutusnya Kanjeng Nabi Muhammad saw di seantero jagad sebagai rahmat umat di dunia hingga akherat. Pantas saja Allah dan ditaati para malaikat mem­beri shalawat kepada Beliau. De­ngan de­mi­kian sebagai umat­nya pa­tut­lah meng­ikuti perintah Allah yang diikuti para malaikat untuk mem­beri shalawat kepa­da Rasulullah saw.
Di samping bersala­wat secara lisan dan hati, yang penting lagi adalah "mem­fo­tokopi" sebisa mungkin segala prilaku, ucapan dan perbuatan yang beliau laku­kan untuk dilaksa­na­kan dalam tindakan sehari-hari. Se­bab hanya dengan "foto kopian" yang telah mendapat "legalisir" Rasulullah saw saja yang akan dia­kui di hari kiamat dan setempel-setem­pel lain akan ditolak. Sehingga segala perkara tanpa "stempel" dari beliau apalagi yang tidak mengakui bahkan yang membenci Nabi saw dan ajarannya akan terputus dari keluarga Nabi saw. Sebagaimana Firman Allah swt: "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus."

Orang-orang yang Terputus
Abtar (terputus) menurut ahli bahasa adalah orang laki-laki yang tidak memiliki anak. Siapakah gerangan yang dimaksud de­ngan orang-orang yang terputus ini. Pe­ngertian terputus menurut Ibnu Katsir yang mengutip pendapat dari para mufassir seperti Ibnu Abbas adalah sebagai berikut:


إنَّ مُبْغَضَكَ يَا مُحَمَّدْ وَمُبْغِضَ جِئْتَ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْحَقِّ وَالْبُرْهَانِ السّّاطِعِ وَالنُّوْرِ الْمُبِيْنِ هُوَ اْلأْبْتَرُ
Artinya: Sesungguhnya orang yang di­mak­sud Abtar (terputus) adalah mere­ka yang membeci Nabi Muhammad saw. Mereka membenci segala yang dida­tang­kan oleh Nabi saw: misalnya petun­juk, per­kara yang hak, penerangan yang jelas, nur Ilahi, dan cahaya kebenaran.
Orang-orang kafir Quraisy suka sekali mence­mooh Rasulullah saw dengan sebutan Muhammad Abtar!. Maksudnya Nabi yang tidak memiliki keturunan laki-laki Sehingga turunlah surat al Ashr. Adapun menurut Muhammad bin Ishaq yang bersumber dari Yazid bin Ruman, ayat ini pertama kali diturunkan berkait­an dengan Al Ash bin Wail ketika men­ce­mooh nabi sebagai Rojulun Abtar! (Lelaki yang terputus).
Menurut Ibnu Abbas dan Ikrimah ditu­run­kannya ayat ini berkaitan dengan ejek­an orang kafir quraisy seperti Ka'ab bin Asyraf dan kawan-kawannya. Na­mun menurut Al Bazzar lain lagi: Ayat ini berkaitan ejekan Abu Lahab kepada Nabi saw karena kematian putera Nabi saw: Qasim di Mekkah dan Ibrahim di Madinah.
Dari penjelasan para mufassir tersebut tampak jelas sekali bahwa orang-orang kafir quraisy ramai-ramai membenci dan mengejek Rasulullah saw dengan se­butan abtar. Karena itu seyogyanya kita sebagai umat Rasulullah saw dalam bersalawat hendaknya mesti diikuti dengan وعلى اله واصحابه اجمعين atau cukup ditambah dengan lafad وعلى آله . Sebab dengan menambahkan lafaz wa'a­laa alihi (dan atas keluarga Nabi saw) berarti kita tidak ikut-ikutan menyebut Nabi sebagai Abtar!.

Keluarga Rasulullah saw.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فَاطِمَةُ مُضْغَةٌ مِنِّي يَقْبِضُنِي مَا قَبَضَهَا وَيَبْسُطُنِي مَا بَسَطَهَا وَإِنَّ الْأَنْسَابَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَنْقَطِعُ غَيْرَ نَسَبِي وَسَبَبِي.

Artinya: "Sesungguhnya Fatimah ada­lah da­rah dagingku. Apa yang ia miliki adalah berasal dariku, dan anak keturunan yang berasal darinya ada­lah juga ber­asal dariku. Se­sung­­­guh­nya semua ke­tu­run­an akan terputus pa­da hari kia­mat kecuali ketu­runan­ku dan sabab-ku…" (Sunan Imam Ahmad hadits no: 18167)


Faktor Nasab
Pendapat orang quraisy bahwa Nabi saw itu terputus (abtar) karena tidak berketu­runan dibantah al qur'an bahwa yang terputus adalah mereka sendiri karena mem­ben­ci Nabi saw dan ajarannya. Dari hadits tersebut secara tegas Nabi mengungkap bahwa keluarga Rasululullah saw yaitu Siti Fatimah ra satu-satunya darah-da­ging beliau yang akan beranak-cucu hingga akhir zaman. Inilah keluarga secara Nasabi.


Jadi, nasabi adalah keluarga secara lang­sung yang beranak-curu seterusnya. Siapakah yang bersambung secara nasab kepada Rasulullah saw? Mereka adalah para dzurriyah (keluarga Nabi saw) yang berasal dari Siti Fathimah ra.


Sebutan untuk mereka para dzurriyah (keluarga Nabi saw) cukup banyak misalnya Ahlul bait, Habib, Sayyid, Sya­rif/Syarifah, Andi, Sidi dll, untuk ma­sing-masing daerah berbeda-beda yang disebabkan karena faktor rep­resif dari kaum penjajah waktu itu.
Para keluarga Rasulullah saw dari sisi kepemerintahan selalu dijadikan masya­rakat kelas II sehingga tidak jarang dari dulu hingga sekarang (sejarah banyak mengulas) bahwa keluarga Nabi saw selalu dikejar-kejar dan tidak jarang dijadikan obyek penye­rangan. Padahal da­lam catatan sejarah membuktikan bah­­­wa mereka adalah banyak yang men­ja­di para aulia, para pemimpin agama dan penyiar agama di seantero jagad bumi ini. Untuk Indonesia para wali itu semuanya bersambung kepada Nabi saw. (selengkapnya, lihat buku sejarah wali, susuhunan, Habaib dll di Indonesia, Thariq Shehab, tersedia di TQN Kali Pasir)
Faktor Sabab
Dalam hadits di atas dengan tegas Rasulullah saw bersabda: "Se­sung­­­guh­nya semua ketu­runan akan terputus pa­da hari kiamat kecuali keluarga­ku dan sabab-ku…"
Menjadi keluarga Nabi saw walaupun bukan asli keturunannya, ternyata bisa! Hadits di atas telah membuk­ti­kan hal itu. Maka dengan demikian keluarga Nabi saw, secara umum juga termasuk ke­luar­ga beliau dari sisi Sabab.
Segala penyebab yang menjadi kerangka berpikir atau bertindak, baik dalam visi mau­pun misi yang menjadi landasan hi­dup dan berpikir, baik pribadi maupun organisasi, lembaga pendi­dik­an Islam sekalipun atau lembaga so­sial dan pen­didikan lainnya, semua­nya terputus di tengah jalan ketika menuju akhirat. Hal ini terjadi karena tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah saw. Padahal jika disandarkan dan mengikuti tuntunan dari Rasul saw, niscaya dengan sendiri­nya telah menjadi anggota keluarga Rasul saw. Karena itu boleh jadi faktor 'saba­bi' ini ibarat memperoleh 'legalisir' dan 'stempel' yang sah dari Rasulullah saw terhadap segala tindakan.
Karena itu bagaimana upaya menda­pat­kan 'stempel' dari beliau dalam setiap prilaku kita, dan kepada siapa kita mesti mencari "fotokopian" tersebut agar upa­ya kita dalam beragama tidak terpu­tus di tengah jalan menuju akhirat de­ngan selamat. Boleh jadi langkah-lang­kah­nya adalah sebagai berikut:
Pertama: Sumber Dokumen
Untuk memperoleh dokumen asli ini tentunya dipegang oleh orang-orang yang menjadi keluarganya dan orang-orang yang dekat beliau. Para sahabat adalah mereka yang merekam semua­nya. Kemudian diikuti oleh para peng­ikutnya hingga sekarang. Warisan doku­men ini adalah dipegang oleh ulama sebab mereka adalah pewaris ilmu dari Nabi.
Dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim menya­ta­kan bahwa, Rasulullah saw tidak mewarisi harta benda melain­kan ilmu. Artinya boleh jadi, kepada merekalah dokumen asli ini dipegang. Dan seyog­yanya kita mencintai, mendekati dan hidup bersama mereka dalam untuk dibina dan dibimbing, agar bisa mengenal Allah dan Rasul-Nya sekaligus mencintainya. Wallahu A'lam (MK)

Berhijrah dengan Kapal Laut








بسم الله الرحمن الرحيم ولقد اتينا لقمان الحكمة ان اشكر لله






"sesungguhnya, Aku karuniakan Luqmanul Hakim dengan hikma-hikmah karena itu bersykurlah kepada Allah."






Dalam sebuah pelajaran tafsir di MTS, Guru yang saya mulyakan, pak Bun Yamin. Waktu itu mewajibkan bagi kami murid MTS harus menghafalnya. Dalam penjelasan Pak Bun, Luqmanul Hakim adalah seorang hamba Allah yang diabadikan dalam Al Qur'an karena hikmahnya yang besar, meskipun bukan nabi, tapi memiliki hikmah yang luar biasa. Ketika di IAIN, saya temukan pula banyak sekali skripsi yang kovernya dijuduli oleh tulisan yang berkaitan dengan hikmah-hikmah pendidikan Luqmanul Hakim. Namun yang lebih menarik lagi tentang Luqmanul Hakim, dalam salah satu kitab ulama salaf, bebicara masalah kapal laut dan upaya menguasainya. Rupanya pesantren memiliki produk kapal laut yang dikemas dari resep Luqmanul Hakim. Apasaja resep menguasai kapal made in pesantren ini?

Sebelum mengenal kapal made in pesantren, kita perkenalkan terlebih dahulu siapa pembuat ide kapal laut gaya pesantren. Siapakah kalau bukan Luqmanul Hakim itu. Ternyata beliau adalah murid dari ribuan nabi. Dijelaskan dalam kitab bahwa Luqmanul Hakim adalah :

تلميذ الأنبياء لانه ورد انه كان تلميذا لألف نبي
Maksudnya boleh jadi, Luqmanul Hakim adalah murid dari ribuan nabi.
Wasiat-wasiatnya banyak diabadikan di dalam alquran juga hadits. Antara lain wasiatnya adalah bagaimana menaiki kapal laut dan menguasainya:

يا بنى الدنيا بحر عميق والإيمان السفينة وملح الطاعة والسخيرة الاخير
Artinya: Wahai anakku dunia ibarat lauatan, iman itu ibarat kapal laut (perahu), melajunya ibarat taat, dan pantainya adalah akhirat.
Ada tiga nasehat dalam ungkapan nasehat Luqmanul Hakim di atas.
Pertama, Addunya bahrun 'amiiqun (dunia itu ibarat laut yang dalam). Ketika dunia digambarkan oleh Luqmanul Hakim sebagai laut yang dalam, maka imaginasi kita bisa menerawang bahwa lautan itu sangat luas, 80% dunia ini dikelilingi air luat. Laut memiliki gelombang pasang yang besar, jika siang hari terik panasnya luar biasa, jika malam hari gelapnya tidak terkira. Isi dalamnya terkandung banyak sekali kakayaan: Emas, perak, minyak, ikan, rumput laut, sarana penghubung antar bangsa, dan masih banyak lagi. Laut yang dalam memliki ciri berbahaya gelombangnya besar, jika ditelan di dalamnya, sulit untuk keluar. Singkatnya, hidup di dunia bagaikan lautan. Lautan itu luas, gelombangnya besar anginnya cukup kencang. Ketika kita berada di tengah lautan, suka atau tidak suka, pasti di terjang gelombang dan angin.


Kedua, wal-iimaanu assafinatu. Iman laksana kapal. Buat apa laut dengan begitu besar bahaya mengancamnya pun sangat besar. Bersyukur Allah subhanahu wata'ala dengan maha Kasih, disediakan kapal laut sehingga ia bisa naik di dalamnya dan mampu menghindari manusia dari ganasnya gelombang laut. Siapakh penumpang laut dalam tamsil ini. Tentu orang yang mendapat petunjuk. Mereka bisa menaiki kapal. Tapi mereka yang tidak mendapat taufik dan hidayah Allah mereka tidak akan pernah naik perahu/kapal. Maka sudah pasti ia akan terapung-apung di lautan yang dalam gelap dan gulita, tidak menentu dan tidak punya arah. Hanya ada resah dan gelisah. Kapal/perahu digambarkan oleh Luqmanul Hakim sebagai iman. Orang yang beriman artinya, ia memiliki kapal sehingga tidak selamanya, terapung di lautan yang penuh bahaya.


Ketiga, wal milahu atto'atu. Melajunya adalah Taat. Buat apa ada kapal/perahu jika ia tidak bisa bergerak atau melaju. Karenanya, kapal bisa bergerak karena ada taat. Semakin taat, berarti gerakan kapalnya semakin kencang. Semakin lambat berarti sebaliknya. Gerakan kapal menggunakan energi solar atau sejenisnya. Maka taat dalam tamsil Luqmanul Hakim adalah alat untuk menggerakkan Iman. Boleh jadi, orang yang beriman tidak akan ada artinya jika tidak taat. Iblis adalah makhluq yang sanget mempercayai Allah sebagai Tuhan-nya, namun karena tidak taat satu kali perintah ketika disuruh mengormati Adam as ia tidak menurut dengan ucapan: "ana khoirum minu", saya lebih baik daripadanya. Karena kesombongannya kemudian ia menjadi makhluq yang tidak bisa melaju.

Bila energi taat itu tersedia, maka perahunya bisa bergerak dan melaju. Tentu saja, melajunya perahu karena di tengah-tengah lautan ia akan menghadapi badai angin, badai gelombang. Kalau terjadi gelobamgn laut yang besar, maka system keseimbangan kapal mesti harus tersedia. Karamnya kapal KM Nusantara, menurut pakar perkapalan dari ITS disebabkan system keseimbangan kapalnya tidak berfungsi sehingga tidak bisa menormalisasi keadaan. Dalam tamsil Luqmanul Hakim pun hukum keseimbangan pasti ada. Karena bergeraknya kapal, sesuai hukum fisika, berbanding lurus dengan daya hambatan yang dilaluinya, efeknya adalah ia akan terombang ambing jika ada gelombang dan seluruh isi dalam kapal akan mengikuti naik-turunnya kapal yang mengalami goncangan. Gambaran ini persis sama dengan kondisi iman yang ada dalam diri kita, kadang ia naik dan kadang turun karena pengaruh gelombang yang ada dalam siklus keduniaan. Al Imanu yaziidu wamanqus.

Kapal Perlu Penyeimbang
Bagaimana jika keseimbangan itu tidak ada, niscaya kapal yang tengah diterpa gelombang akan tenggelam. Orang yang ada di dalam kapal yang tengah melaju cepat kapalnya pasti begerak dan penumpang yang ada di dalamnya akan mencari pegangan jika terjadi goyangan. Jika ia temukan kursi, maka jadilah kursi sebagai pegangan, Jika Seandainya yang terdekat itu orang, maka main sambar saja orang yang dekat itu tersebut sebagai pegangan demi untuk keselamatan kita agar jangan sampai tersungkur.

Demikian pula dalam gambaran iman kita sehari-hari, apa saja yang terdekat, itulah yang akan menjadi pegangan kita. Sebab jika iman semakin taat, maka semakin gencar riak gelombangnya. Kare­na itulah berpegangan merupakan sebuah tuntutan dan yang dijadikan pegangan tergantung keseharian kita: jika kita berpegang kepada laa ilaaha illallaah, tentu terjadi apapun itulah pegangan kita, jika kita sehari-hari berpegangan dengan shalat, maka sha­lat­lah sebagai pegangannya. Sean­­dainya kita berpegangan kepada ulama maka kitapun akan berpegangan dengan mere­ka. Tidak salah jika Nabi saw bersabda:

العلماء هم ورثة الأنبياء لم يرثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العلم
Artinya: Ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewarisi dinar dan dirham melainkan ilmu.

Mengaapa kita mesti mengikuti ulama. Jawabnya akrena ayat-ayat Al quran tidak dimengerti artinya demikian juga hadits. Karena yang mengerti adalah ulama maka tidak ada jalan lain kecuali mengikuti perintah rasul, dekatilah ulama!
من استخف بالعــلماء خسر الدين
”Barang siapa yang menganggap enteng para ulama. Maka rugilah agamanya.”
Ulama dengan berbagai derivasinya, ada yang berpendapat bukan saja ahli dalam bidang keagamaan. Mereka juga adalah yang bisa memahami alam dengan berbagai hukum-hukumnya dan ahli dalam bidang keagamaan. Orang yang ahli ekonomi, kemudian ia sendiri begitu takut dan taat kepada Allah, dan ia prihatin untuk memperhatikan dunia sekelilingnya, misalnya, karena banyak umat Islam yang terpuruk ekonominya, maka tergeraklah dengan ilmunya dan nilai ketaatannya, membuat analisa, membuat hipotesa, melaksanakan penelitian, dan melahirkan teori, lalau mempraktekkan teori itu untuk membuat solusi kemiskinan. Ia adalah ulama! Contohnya adalah Dr. Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian tahun ini, seorang ulama Islam ekonom dari Bangladesh dengan Grameen Banknya, seperti yang diberitakan dalam situs ini oleh M. Noor, Ketua NU cabang London. M. Yunus katanya, berhasil mengangkat derajat kaum miskin menjadi naik stratifikasi sosialnya. Sehingga pengemis di Bangladesh sudah ribuan yang diselamatkan dari tangan ulama ekonom ini.
Keempat, assakhirotu ath-Tho'atu. Pelabuhannya (pantainya) adalah akhirat. Perjalaan perahu terus bergerak menuju pan­tai akherat. Itulah akhir perjalanan manusia. Setelah diantar melintasi gelombang dunia, dan tenaga taat menggerakkan kapal maka akhir perjalanan kapal ini mengantar manusia ke akherat. Itulah tujuan hijrah akhir dari manusia. Dengan kapal produk Luqmanul Hakim Insya Allah dapat selamat hingga akhirat, namun jika produk kapal itu dari "ITS" (insan tak sembahyang) pasti meragukan pruduk-produknya. Karena itulah gunakan produk pesantren karena Insya Allah pembuatnya, banyak kyainya, lulusan "ITB" (insan taat beragama).
Akhirat itu Jauh
Dalam berhijrah, jarak antara dunia menuju akhirat sangat jaraknya. Demikian pula perjalanan sejarah manusiapun masih cukup panjang. Sebelum kiamat datang, sejarah tetap akan mencatat perjalanan manusia. Karenanya, sejarah manusia itu sangat antik dan aneh. Sebelum lahir sudah mempunyai sejarah, setelah lahir di dunia memliiki sejarah di alam kuburpun masih mempunyai sejarah. Karena itulah perjalanan yang jauh ini membutuhkan bekal. Kapal yang tengah melaju pasti membutuhkan perawatan dan dan renovasi jangan terus menerus digunakan.
Maka, Rasululalh saw memberikan resep bekal yang sangat ampuh bagi perjalanan hijrah manusia. Misalnya saat Rasulullah saw bersabda kepada Abi Dzar: "Wahai Abi dzar perbaharuilah perahu karena sesungguhnya lautan itu sangat jauh", (Jaddidissafiinah, fainnal bahra amiq) artinya menuju akherat itu sangat jauh. Boleh jadi salah satu hikmah pesan Rasul adalah, perbaharui niat kita, karena segala ucapan harus karena Allah. Ber­pikir dan bertindak akan mempunyai ukur­an niat kita tadi. Sebab, jangan sampai merugi tidak berpahala dalam setiap tindakan dan ucapan.
Pesan berikutnya kepada Abi Dzar: "Ambillah bakal yang cukup karena se­sung­guhnya perjalanan itu cukup jauh. Bekal terbaik seperti firman Allah swt:
وتزودوا فإن خيرالزاد التقوى. واتقون يآأولى الألباب
Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertak­walah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (Al Baqarah: 197)


Jika tidak memiliki bekal nisacaya akan menyesal nanti. Sebagaimana dalam sebuah syair arab dari Al A’masy dalam kitab Tafsir Al Qurthubi.. (bahar kamil seperti lagu Ala laa tanalull 'ilm):

إذا أنت لم ترحل بزاد من التقى * ولاقيت بعد الموت من قد تزودا
ندمت علــى ألا تكـــون كـمثله * وأنك لم ترصد كما كان أرصدا
"Jika anda melakukan perjalanan tanpa bekal takwa, niscaya setelah mati ketika bertemu dengan orang yang betul-betul penuh dengan muatan bekal, perasaanmu sungguh menyesal karena engkau tidak seperti dia. Sayangkan sekali engkau tidak menempuh jalan serperti dia.” (catatan: mohon diperbaiki arti kalimat. Terjemahan ini bebas, karenanya jangan dikutip mentah. pen)
Iman terus bergerak menuju pantai. Untuk pergi ke pantai jangan sampai terapung-apung tidak menentu. Lautan digambarkan tadi oleh Luqman hakim sebagai dunia. Dunia ini termasuk cip­taan Allah yang selalu berputar ada duka ada suka; Ada cukup rizki dan ada yang kekurangan; ada sehat ada sakit; Ada senang ada sengsara itulah dunia. Se­mua­nya merupakan alat untuk mengetes iman kita. Jika kita tangguh dengan keimanan, maka tidak akan tergoyahkan dengan cobaan-cobaan di dunia ini bagaimanapun dahsyatnya.
Itulah resep perjalanan hijrah menggunakan kapal ala pesantren yang diciptakan oleh Luqmanul Hakim semoga hijrah tahun ini membawa kebaikan bagi semua. Dari pesantren yang kita cinta, dari kyai, santri dan para alumni, untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Amin. Wallahu a'lam (MK)