بسم الله الرحمن الرحيم فاعتبروا ياأولى الأبصار. وما يكر إلا أولوالألباب
Ambillah i'tibar wahai ulil absor... tidaklah
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Al Hasyr:2) Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). ( Al Baqarah: 269)
Karunia ketajaman akal yang diberikan kepada manusia. Sehingga Allah memberikan ilham dan pengetahuan kepada mereka yang dikehendakiNya. Salah contoh adalah hasil renungan seorang ulama yang memperhatikan bagaimana orang yang menggergaji sebuah kayu namun karena gergajinya tumpul sehingga tidak kayu itu tidak mampu dipotong namun masih terus saja orang-orang tidak putus asa menggergajinya. Dari renungan ini kemudian dapat diambil hikmah yang mendalam.
Model kita ketika memahami ayat diatas yang artinya: “Ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Al Hasyr:2) boleh jadi merupakan perintah berpikir, merenung dan berkontemplasi terhadap kejadian-kejadian di sekitar kita. Sehingga setiap kejadian merupakan pelajaran yang akan masuk ke pintu ilmu di dalam hati.
Gergaji Tumpul
Salah satu contoh berpikir adalah seperti ketika kita melihat orang menggergaji kayu. Mestinya tahu, bahwa dengan besarnya kayu yang sedang digergaji dan kemampuan gergaji yang tengah dipakai, kekuatan orangnya bisa diprediksi waktu yang diperlukan paling lama 2 jam selesai, tetapi kenapa hingga 10 jam tidak selesai-selesai.
Kita bisa bertanya kepada orang yang tengah menggergaji: “Kenapa sih mang, ‘gak’ kelar-kelar?” “Gergajinya tumpul!” jawabnya. “Coba kalau istirahat dulu, gergajinya diasah paling ½ jam, mulai lagi pasti selesai dengan bagus dan cepat.”
Mengasah Gergaji Jiwa
Gergaji pisik yang digambarkan tadi, hampir mirip dengan kemampuan gergaji jiwa yang kita miliki. Sebab tidak beda jiwa yang tajam akan mampu mengatasi masalah “kayu-kayu gelondongan” yang berserakan di sekitar kita. Kayu gelondongan itu bisa saja masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, masalah hubungan sosial. Semuanya itu mesti harus dihadapi dengan ketajaman hati, sehingga hasilnya akan bermanfaat sebagaimana kayu gelondongan yang sudah digergaji, hasilnya bisa menjadi papan dan kaso. Tentu bermanfaat untuk jendela, pintu dan lain-lain.
Agar gergaji jiwa bisa tajam dalam menghadapi masalah problem yang berserakan dimana-mana, maka sering-seringlah kita mengasah gergaji jiwa. Janganlah waktunya dihabiskan untuk berpusing-pusing, sepertinya jalan di tempat. Karena urusan dunia itu sifatnya jalan di tempat tidak kemana-mana. Karena itu bagaimana mengasah gergaji setidaknya ada 4 dimensi agar gergaji itu bisa tajam dan berdaya guna efektif:
Pertama: Dimensi Pisik
Gerinda apa yang diperlukan untuk mengasah jiwa ini? Jawabnya adalah dengan memperbanyak shalat karena otot-otot yang ada di dalam tubuh memerlukan kekuatan dan pisik memerlukan tasbih. Karenanya jangan tinggalkan shalat tasbih setiap hari.
Atau dengan cara mengikuti cara Habib Lutfi dimana beliau membiasakan shalat ibarat olahraga tanpa hitungna rakaat. Karenanya, biasakan saja sering-sering mengeluarkan keringat seperti di ruangan sendiri, di kamar, di masjid, di mushola. Kebiasaan ini merupakan dimensi psikis. Itu saja dulu dibiasakan:
العقــل السـليم فى جسم الســليم
Artinya: “Akal yang saliim terdapat di dalam jiwa yang saliim.”
Saliim biasanya diartikan sehat. Jadi jiwa sehat lahirnya dari tubuh yang sehat. Sepertinya, jika sehat diciptakan dari shalat tentu lebih baik dari gerakan olahraga lainnya. Karena itu tidak salah, jika lari-lari pagi atau sore diganti dengan shalat. Orang-orang aliim yang penulis kenal sudah mempraktekkan teori ini misalnya: Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan), Buya Dimyati Banten (alm), KH. Mufassir (Banten), dan KH. Hamid (Ps. Minggu). Jumlahnya bisa 100 rakaat atau lebih. Dari pengalaman pribadi guru kita, Ust. H. Abu Bakar, seringkali berganti kaos hingga tiga kali karena banyaknya keringat yang keluar dari tubuh, jika shalat malam.
Tulang Bisa Kuat
Ketika masih sehat, hidup kita masih ditopang oleh tulang, bagaimana nanti jika tulang keropos siapa yang menopang. Niscaya akan bongkok, lemah lunglai, bagaimana penanggulangannya yaitu dengan cara memperbanyak shalat. Apa saja shalatnya bebas. Thariqah memiliki dzikir tertentu tapi syariah mengajarkan agar memperbanyak shalat. Inni merupakan aplikasi dari mengikuti thariqah. Karena itu mengikuti thariqah adalah dengan cara memperbanyak praktik daripada dzikir. Sperti shalat misalnya.
Kedua : Dimensi Mental
Mental sesorang terbentuk oleh pendidikan formal, begitu sudah selesai sekolah, mentang-mentang tidak ada ujian, tidak pernah baca, tidak pernah dengar, akhirnya merasa benar sendiri. Karena itu mental seperti ini perlu dirubah yaitu dengan cara sering mendengar, membaca, bertanya. Inilah cara mengasahnya.
Jadi jangan banyak waktu dipergunakan untuk melamun apalagi menghayal, melainkan pergunakan mental kita agar lebih tajam sehingga jiwapun ikut tajam, hatipun ikut tajam. Jika sudah tajam maka dimensi mental selalu-siap-setiap-saat. Jika dimensi mental ini dimiliki dan dipergunakan maka akan terasa kesegaran hidupnya, buktikan! Bukan saja ilmunya bertambah, amalnya pun ikut bertambah dan yang menarik banyak hal-hal baru didapat. Karena itu dimensi mental ini perlu diasah. Jangan sampai dimensi mental ini berhenti meskipun tidak ada ujian.. Sebagaimana ungkapan hikmah berikut:
أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّحْدِ
Artinya: ”Tuntutlah ilmu semenjak buaian hingga ke liang lahat.”
Karena menunut ilmu tidak boleh berhenti hingga ke kubur, Rasulullah saw mewajibkan setiap muslim. Ini adalah dimensi mental yang mesti dilaksanakan oleh setiap mulsim. Jadi jika hidupnya lebih bermakna maka asahlah dimensi mental melalui belajar!
Ketiga: Dimensi Spiritual
Dimensi ini paling penting. Karena nilai manusia, fokus manusia, dan nilai hidupnya adanya di dalam spiritual; Makna spiritual ini bisa diperoleh manakala kita bisa merasakan bagaimana shalat yang nikmat; bagaimana dzikir yang nikmat. Justeru itu akan terbentuk jika kita pandai mengasahnya. Setiap manusia berpotensi untuk menjalankannya, dan hasilnya pun berbeda-beda biasanya disebut dengan pengalaman spiritual.
Dalam kitab Al Hikam diceritakan ada orang yang merasakan nikmatnya shalat setelah mengerjakan selama 20 tahun, ada yang membaca Al Qur’an merasakan nikmatnya setelah mendawamkan selama 15 tahun. Jadi, dimensi spiritual ini akan tercipta dengan sendirinya manakala beristiqamah dan bersabar.
Keempat: Dimensi Sosial Emosi
Manusia sebagai makhluk sosial atau bermasyarakat mestinya mengerti dan menyadari hidup. Silahkan ikut arus tapi harus mampu dan ikut berenang. Sebab zaman sekarang tidak kuat melawan arus; Sama persis dengan arus gelombang laut yang tidak menentu: kadang besar, kadang kencang bahkan menjadi tsunami. Agar jangan sampai menjadi korban arus laut, segera menepi dengan cara berenang. Celakalah mereka yang tidak bisa berenang. Cara berenangnya menggunakan Baju Taat seperti nasehat Luqmanul Hakim pada puteranya:
المــــلح الطــــــا عات
Artinya: Baju renangnya adalah taat!
Arus deras kini sudah masuk ke ruangan kita dan telah menjadi kebiasaan keseharian. Ahirnya tidak heran, ketika anak dilarang nonton TV ia akan lari ke tetangga. Jadi kita mesti berpacu dengan dajjal-dajjal yang masuk ke ruangan kita. Akhirnya kita mesti mengerti bagaimana cara hidup dan harus belajar terus-menerus bagaimana cara berenang.
Wallahu A’lam (MK)