23 January 2007

Moment Hijrah | Belajar pada Gergaji Tumpul



Refleksi Tahun Baru Hijriyah 1428 H

بسم الله الرحمن الرحيم فاعتبروا يااولى الأبصار ... واتقونى يا اولى الألباب





Beri’tibarlah Wahai ulil absar… dan takutlah kepada-Ku wahai ulil albab

Untuk memahami ayat di atas tidak salah jika diilustrasikan pada gambaran peristiwa di bawah ini kemudian penulis mencoba mengekplorasi bagaiamana sebuah gergaji tumpul layak sebagai media refleksi. Hijrah sebagai suatu semangat menuju proses menjadi, maka sinergis untuk itu memerlukan pemicu. Salah satu stimulus yang bisa dijadikan pemantik sinergi adalah gergaji tumpul.



Suatu ketika kyai Rahim jalan-jalan di kampung sekelilingnya, karena ada keperluan mencari tukang batu untuk memperbaiki pekarangan rumahnya yang akan diperlebar. Untuk arena bermain para santri-santrinya. Maklum santrinya makin banyak saja dan perlu halaman luas untuk arena bermain, biar jangan jenuh ketika mereka menghafal alfiah di kamar bilik. Maka halaman belakang asrama akan disulap menjadi taman bermain santri agar mereka bisa konsentrasi dan tenang dalam belajar.



Sebelum sampai di rumah tukang yang dituju, ia dapati dua orang tengah menggergaji kayu gelondongan dengan cara manual. Tapi dalam pikiran pak Kyai ada yang tidak beres, kenapa gergaji itu dipakai terus padahal kelihatannya tumpul. Buktinya, beliau lewat dari 2 jam yang lalu kayunya masih itu-itu saja. Mengapa tidak diasah dan turun dulu kemudian dipakai lagi. Paling juga 1 jam bisa kelar dengan perkiraan kayu sebesar itu dengan tenaga dua orang. Begitulah pikiran yang berkecamuk dari seorang kyai yang amat memperhatikan dunia sekelilingnya. Seperti biasa kyai yang terkenal gaul ini mendekati dan mengajak mengobrol kepada tukang gergaji di kampung sebelah yang banyak orang menganggap banyak orang yang mblubudnya (masa bodoh terhadap ajaran agama). "Mang kenapa sih gergajinya, kok lama betul memotongnya, ketul (tumpul) ya." "inggih pak kyai" dengan sopan ia menjawab.

"Kalau perkiraan saya, biasanya, kayu sebesar itu paling 1 jam kelar. Kok ini sampai 3 jam belum berhasil." Tanya kyai sambil mengisap sigaret kesukaanya."




"Inggih Pak Kyai, Gergaji ini masih baru, saya pikir karena baru, jadi masih bagus belum ketul." Sanggah tukang kayu.



"Menurut saya gergaji itu ketul, istirahatlah dulu dan gunakan waktu istirahat untuk mengasah gergajimu. Paling sebentar istirahatnya, tapi gergaji itu bisa tajam kembali dan bisa bermanfaat untuk memotong kayu lain jika pekerjaanmu sudah selesai". Nasehat Kyai Ahmad dan ia buru-buru ke asramanya, karena banyak santri yang akan diajarkannya. Para tukang sambil bengong namun mengerti maksud Pak kyai agar gergaji itu diasah dulu sebentar lalu dipakai lagi.

Fragmen di atas bukan cerita sebenarnya, namun sekedar memberikan gambaran makna terdalam dari nasehat seorang kyai gaul kepada tukang kayu, tetangga desa sebelahnya.



Saatnya Mengasah Gergaji


Memasuki tahun baru hijriyah bagi sebagian masyarakat dianggap biasa saja. Tidak ada yang berubah hanya sedikit perbedaanya, salah satunya, katanya, ganti kalender. Sementara kehidupan dianggap makin tidak kondusif saja. Persoalan hidup terkesan makin rumit karena terhimpit masalah sakit. Masalah yang non sakit beredar di kalangan sedikit. Akhirnya hutang makin melilit karena bayar mesti kredit, yang punya hutang tidak sedikit, banyak yang kemudian pelit karena duitnya diindit jika ketahuan ia pun lari terbirit-birit.

Nada pesimistis di atas seringkali terlontar dalam berbagai tulisan atau ucapan seseorang dalam setiap kesempatan baik di situs maupun di berbagai media. Rasanya, jika semua orang berkata seperti itu, akan meniscayakan pesimisme bukan optimisme. Di dalam majalah swa menulis: “orang pesimis bagian dari persoalan sementara orang optimis bagian dari jawaban.” Kalimat ini penulis temukan tergantung jelas di sbuah pigura manis, di salah satu sudut rumah seorang alumni Buntet, Ust. H. Diauddin, di Jakarta Timur.

Proses menuju optimis mesti membutuhkan suatu energi yang dahsyat yang bisa merubahnya. Salah satu energi itu adalah energi jiwa yang dibangun dan diasah bagaikan gergaji. Gergaji pisik yang digambarkan pada fragmen di atas, hampir mirip dengan kemampuan ger­gaji jiwa yang kita miliki. Sebab tidak beda antara gergaji tajam dengan jiwa yang tajam akan mampu meng­­atasi masalah “kayu-kayu gelon­dongan” yang berserakan di sekitar kita. Kayu gelondongan itu bisa saja masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, ma­salah hu­bung­an sosial. Semuanya itu mesti harus dihadapi dengan ketajaman hati, sehingga hasilnya akan bermanfaat sebagaimana kayu gelondongan yang sudah digergaji, hasil­nya bisa menjadi papan dan kaso. Tentu bermanfaat untuk jen­dela, pintu dan lain-lain.

Agar jiwa memiliki ketajaman layaknya gergaji yang tajam, sehingga bisa diandalkun untuk meng­hadapi masalah problem yang berse­rakan dimana-mana, maka orang yang rajin mengasah ger­gaji jiwa tentu tidak susah menghadapi masalah itu. Sebab tidak dipungkiri ketajaman sebuah gergaji akan pula mampu memotong persoalan-persoalan kayu dan memotong sesuai dengan nilai manfaatnya.

Karenanya, mengasah gergaji yang membutuhkan waktu sebentar, seperti tukang gergaji di atas, maka nilai waktu­ bagi tukang itu sangat berharga. Ia tidak mengha­biskan waktunya untuk berpusing-pusing memikirkan ketulnya gergaji, melainkan bagaimana mengatasinya. Sebab menurut orang bijak, jika berkutat dengan urusan keduniaan yang lawan kata dari ubudyah, niscaya akan berputar-putar sebagaimana luasnya bumi berputar hanya membutuhkan waktu 24 jam, namun se­per­tinya jalan di tem­pat. Karena urusan dunia itu sifatnya jalan di tempat tidak kemana-mana. Dengan demikian maka bagaimana upaya mengasah gergaji jiwa, setidaknya ada 4 dimen­si agar gergaji itu bisa tajam dan berdaya guna efektif:

Pertama: Dimensi Pisik
Gerinda apa yang diperlukan untuk meng­asah jiwa ini? Jawaban para ulama ahli ibadah mendefiniskan shalat bukan saja sebagai hubungan dengan Tuhannya, melainkan ia memiliki nilai pengasah dimensi pisik. Karena itu seringkali ditemukan di banyak kitab-kitab salaf, bahwa ulama-ulamanya melaksanakan shalat dengan jumlah yang tidak sedikit. Salah satu manfaatnya, menurut mereka adalah bahwa otot-otot, sendi dan urat-urat syaraf yang ada di dalam tu­buh me­mer­lukan ke­kuatan dan sementera secara pisik mereka membutuhkan tasbih. Ka­re­­na­nya tidak jarang orang-orang yang suka memperhatikan masalah ini sangat menyesal jika meng­galkan shalat tas­bih setiap hari. Dikatakan dalam sebuah nasehat agama, bahwa dalam tubuh manusia sendi-sendi yang jumlahnya lebih dari 200 dan membutuhkan tasbih.
Seorang wartawan bertanya kepada Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan). “Bib apa olahraga yang Anda sukai?”


“Saya biasa mengerjakan shalat tanpa hitungan rakaat”.
Jelas shalat yang dimaksud adalah shalat mutlak yang jumlahnya tidak dibatasi. Karenanya, kebiasaan mengeluarkan keringat ketika shalat rupanya menjadi langganan para kyai yang 'aalim lagi 'aliim. Mereka biasanya menberi nasehat: “Laksanakan saja shalat dimanapun, di kamar, di masjid, di mu­sho­la. Kebiasaan ini merupakan pendobrak dimensi psikis."
Tidak salah jika ada ungkapan bijak : men sana incorpore sano, atau dalam bahasa arabnya:



العقــل السـليم فى جسم الســليم
Artinya: “Akal yang saliim terdapat di dalam jiwa yang saliim.”



Saliim biasanya diartikan sehat. Jadi jiwa sehat lahirnya dari tubuh yang sehat. Sepertinya, jika sehat diciptakan dari shalat tentu lebih baik dari gerakan olahraga lainnya. Karena itu tidak salah, jika lari-lari pagi atau sore diganti de­ngan shalat. Orang-orang aliim yang pe­nulis kenal sudah mempraktekkan teori ini misalnya: Habib Lutfi bin Yahya (Peka­long­an), Buya Dimyati Banten (alm), KH. Mufassir (Banten), dan KH. Hamid (Ps. Minggu) dan masih banyak lagi yang tidak saya kenal. Mereka melaksanakan shalat jumlahnya mencapai 100 rakaat atau lebih sekali mengerjakan.



Tulang Bisa Kuat
Shalat bisa menjadi batu asahan jiwa dan tulang bisa kuat. Ketika masih sehat, hidup kita masih ditopang oleh tulang, bagaimana nanti jika tulang keropos siapa yang meno­pang. Niscaya akan bongkok, lemah lunglai, bagaimana penang­gulangan­nya yaitu dengan cara mengikuti mereka yang telah mempraktekkan bagaimana memperbanyak shalat. Apa saja shalatnya bebas. Bagi para pengikut thariqah, pasti memiliki dzikir tertentu tapi syariah me­ng­ajarkan agar memperbanyak sha­lat. Mengerjakan shalat (syari’ah) merupakan aplikasi dari me­ng­­ikuti thariqah. Karena itu mengikuti tha­ri­qah adalah dengan cara memper­ba­nyak praktik daripada dzikir. Sperti shalat misalnya.





Kedua : Dimensi Mental
Dimensi kedua yang mesti diasah adalah dimensi mental. Dimensi ini bagi seorang manusia terbentuk oleh pendi­dikan formal, begitu sudah selesai seko­lah, mentang-mentang tidak ada ujian, tidak pernah baca, tidak pernah dengar, akhirnya merasa benar sendiri. Karena itu mental seperti ini perlu dirubah yaitu dengan cara sering mendengar, mem­ba­ca, ber­tanya. Inilah cara meng­asahnya.

Jadi jangan banyak waktu dipergunakan untuk melamun apalagi menghayal, melainkan pergunakan mental kita agar lebih tajam sehingga jiwapun ikut tajam, hatipun ikut tajam. Jika sudah tajam maka dimensi mental selalu-siap-setiap-saat. Jika dimensi mental ini dimiliki dan dipergunakan maka akan terasa kesegaran hidupnya, buktikan! Bukan saja ilmunya bertambah, amalnya pun ikut bertambah dan yang menarik ba­nyak hal-hal baru didapat. Karena itu dimensi mental ini perlu diasah. Jangan sampai dimensi mental ini berhenti mes­kipun tidak ada ujian.. Sebagaimana ungkapan hikmah berikut:



أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّحْدِ



Artinya: ”Tuntutlah ilmu semenjak buai­an hingga ke liang lahat.”



Karena menunut ilmu tidak boleh berhenti hingga ke kubur, Rasulullah saw mewajibkan setiap muslim. Ini ada­lah dimensi mental yang mesti dilak­sanakan oleh setiap mulsim. Jadi jika hidupnya lebih bermakna maka mengasah dimensi mental adalah melalui belajar.



Ketiga: Dimensi Spiritual


Dimensi ini paling penting. Karena nilai manusia, fokus manusia, dan nilai hi­dup­­­nya adanya di dalam spiritual; Mak­na spiritual ini bisa diperoleh mana­kala kita bisa merasakan bagaimana shalat yang nikmat; bagai­mana dzikir yang nik­mat. Justeru itu akan terbentuk jika kita pandai mengasahnya. Setiap manu­sia ber­potensi untuk menja­lan­kannya, dan hasilnya pun berbeda-beda biasanya dise­­but de­ngan pengalaman spiritual.



Dalam kitab Al Hikam diceritakan ada orang yang merasakan nikmatnya shalat setelah mengerjakan selama 20 tahun, ada yang membaca Al Qur’an merasakan nikmatnya setelah mendawamkan sela­ma 15 tahun. Jadi, dimensi spiritual ini akan tercipta dengan sendirinya mana­kala beristiqamah dan bersabar.

Keempat: Dimensi Sosial Emosi
Manusia sebagai makhluk sosial atau bermasyarakat mestinya mengerti dan menyadari hidup. Silahkan ikut arus tapi harus mampu dan ikut berenang. Sebab zaman sekarang tidak kuat mela­wan arus; Sama persis dengan arus gelom­bang laut yang tidak me­nentu: kadang besar, kadang kencang bahk­an menjadi tsunami. Agar jangan sampai menjadi korban arus laut, segera menepi dengan cara berenang. Celakalah mereka yang tidak bisa berenang. Cara berenangnya menggunakan Baju Taat seperti nasehat Luqmanul Hakim pada puteranya: المــــلح الطــــــا عات
Artinya: Baju renangnya adalah taat!

Arus deras informasi dari belahan dunia manapun kini sudah masuk ke ruangan kita dan telah menjadi kebiasaan keseharian. Ahir­nya tidak heran, ketika anak dila­rang nonton TV ia akan lari ke rumah tetang­ganya. Jadi rupanya mesti ber­pacu dengan simbol “dajjal-dajjal” modern yang masuk ke ruangan kita. Akhirnya mestilah kemudian secara bijak memahami bagaimana cara hidup dan harus belajar terus-menerus bagai­mana cara berenang.

Dari urian di atas, keempat dimensi itu merupakan bagian terpenting dalam hidup. Tentu saja masih banyak dimensi lain yang tidak kalah pentingnya. Karena itu proses mengasah semua itu membutuhkan pengorbanan dan kecakapan. semoga dengan ilmu yang ada, dari pesantren yang kita cintai, dengan profesi yang bermacam-macam, maka kiprah dan gairah kita dalam memajukan bangsa Insya Allah akan dimulai dari diri sehingga bisa mengurat akar di sekitar kita. Semoga pula, apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa manusia terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

Tahun baru, tahun mengasah jiwa, tahun beramal dan tahun refleksi di tengah cobaan yang membelit bangsa yang sudah tidak bisa dipikirkan dengan akal logika. Maka pendekatan non logika mesti dihubungkan. Seorang Ulil ketika mengomentari Tsunamai dia berkata, adakalanya sesuatu kejadian di bumi ini tidak bisa dilogikakan. Maka sikap terbaik adalah bagaimana menghindari kejadian itu menimpa kita. ]

Wallahu A’lam (MK)
Penulis alumni MANU Buntet Pesantren Cirebon