24 January 2007

Belajar dari Gergaji Tumpul

Refleksi untuk Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas diri

بسم الله الرحمن الرحيم فاعتبروا ياأولى الأبصار. وما يكر إلا أولوالألباب

Ambillah i'tibar wahai ulil absor... tidaklah


Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Al Hasyr:2) Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). ( Al Baqarah: 269)

Karu­nia ketajaman akal yang diberikan kepa­da manu­sia. Se­hing­ga Allah mem­berikan ilham dan pengetahuan kepa­da mereka yang dike­henda­kiNya. Sa­lah contoh adalah hasil renungan seo­rang ula­ma yang mem­perhatikan ba­gai­­ma­na orang yang meng­gergaji se­buah ka­yu namun karena gerga­­jinya tumpul sehingga tidak kayu itu tidak mampu dipo­tong namun masih terus saja orang-orang tidak putus asa meng­ger­gajinya. Dari re­nung­an ini ke­mudian dapat diam­bil hikmah yang men­dalam.

Model kita ketika mema­hami ayat diatas yang artinya: “Ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Al Hasyr:2) boleh jadi merupakan perintah berpikir, merenung dan berkontemplasi terhadap kejadian-kejadian di sekitar kita. Sehingga setiap kejadian merupa­kan pelajaran yang akan masuk ke pintu ilmu di dalam hati.

Gergaji Tumpul
Salah satu contoh berpikir adalah seperti ketika kita melihat orang meng­ger­gaji kayu. Mestinya tahu, bahwa de­ngan be­sar­nya kayu yang sedang digergaji dan kemam­puan gergaji yang tengah dipakai, kekuatan orangnya bisa di­pre­dik­si waktu yang diperlukan pa­ling lama 2 jam sele­sai, tetapi kena­pa hingga 10 jam tidak selesai-selesai.

Kita bisa bertanya kepada orang yang tengah menggergaji: “Ke­­na­­pa sih mang, ‘gak’ kelar-kelar?” “Gergajinya tumpul!” jawabnya. “Coba kalau istirahat dulu, gergajinya diasah paling ½ jam, mulai lagi pasti selesai dengan bagus dan cepat.”

Mengasah Gergaji Jiwa
Gergaji pisik yang digambarkan tadi, hampir mirip dengan kemampuan ger­gaji jiwa yang kita miliki. Sebab tidak beda jiwa yang tajam akan mampu meng­­atasi masalah “kayu-kayu gelon­dongan” yang berserakan di sekitar kita. Kayu gelondongan itu bisa saja masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, ma­salah hu­bung­an sosial. Semuanya itu mesti harus dihadapi dengan ketajaman hati, sehingga hasilnya akan bermanfaat sebagaimana kayu gelondongan yang sudah digergaji, hasil­nya bisa menjadi papan dan kaso. Tentu bermanfaat untuk jen­dela, pintu dan lain-lain.

Agar gergaji jiwa bisa tajam dalam meng­hadapi masalah problem yang berse­rakan dimana-mana, maka se­ring-sering­lah kita mengasah ger­gaji jiwa. Janganlah waktu­nya diha­biskan untuk berpusing-pusing, se­per­tinya jalan di tem­pat. Karena urusan dunia itu sifatnya jalan di tempat tidak kemana-mana. Karena itu bagai­mana meng­asah gergaji se­tidaknya ada 4 dimen­si agar gergaji itu bisa tajam dan berdaya guna efektif:


Pertama: Dimensi Pisik
Gerinda apa yang diperlukan untuk meng­asah jiwa ini? Ja­wabnya adalah dengan memper­ba­nyak shalat kare­na otot-otot yang ada di dalam tu­buh me­mer­lukan ke­kuatan dan pisik memer­lukan tasbih. Ka­re­­na­nya ja­ngan ting­galkan shalat tas­bih setiap hari.

Atau dengan cara mengikuti cara Habib Lutfi dimana beliau mem­biasakan shalat ibarat olahraga tan­pa hitungna rakaat. Karenanya, bia­sa­kan saja sering-sering menge­luarkan keringat seperti di ruang­an sendiri, di kamar, di masjid, di mu­sho­la. Kebiasaan ini merupakan dimensi psikis. Itu saja dulu dibiasakan:

العقــل السـليم فى جسم الســليم
Artinya: “Akal yang saliim terdapat di dalam jiwa yang saliim.”

Saliim biasanya diartikan sehat. Jadi jiwa sehat lahirnya dari tubuh yang sehat. Sepertinya, jika sehat diciptakan dari shalat tentu lebih baik dari gerakan olahraga lainnya. Karena itu tidak salah, jika lari-lari pagi atau sore diganti de­ngan shalat. Orang-orang aliim yang pe­nulis kenal sudah mempraktekkan teori ini misalnya: Habib Lutfi bin Yahya (Peka­long­an), Buya Dimyati Banten (alm), KH. Mufassir (Banten), dan KH. Hamid (Ps. Minggu). Jumlahnya bisa 100 rakaat atau lebih. Da­ri pe­nga­laman priba­di guru kita, Ust. H. Abu Bakar, sering­­kali berganti kaos hing­­ga tiga kali kare­na banyak­nya keringat yang ke­luar dari tubuh, jika shalat malam.

Tulang Bisa Kuat

Ketika masih sehat, hidup kita masih ditopang oleh tulang, bagaimana nanti jika tulang keropos siapa yang meno­pang. Niscaya akan bongkok, lemah lunglai, bagaimana penang­gulangan­nya yaitu dengan cara memperbanyak shalat. Apa saja shalatnya bebas. Thariqah memiliki dzikir tertentu tapi syariah me­ng­ajarkan agar memperbanyak sha­lat. Inni merupakan aplikasi dari me­ng­­ikuti thariqah. Karena itu mengikuti tha­ri­qah adalah dengan cara memper­ba­nyak praktik daripada dzikir. Sperti shalat misalnya.

Kedua : Dimensi Mental
Mental sesorang terbentuk oleh pendi­dikan formal, begitu sudah selesai seko­lah, mentang-mentang tidak ada ujian, tidak pernah baca, tidak pernah dengar, akhirnya merasa benar sendiri. Karena itu mental seperti ini perlu dirubah yaitu dengan cara sering mendengar, mem­ba­ca, ber­tanya. Inilah cara meng­asahnya.

Jadi jangan banyak waktu dipergunakan untuk melamun apalagi menghayal, melainkan pergunakan mental kita agar lebih tajam sehingga jiwapun ikut tajam, hatipun ikut tajam. Jika sudah tajam maka dimensi mental selalu-siap-setiap-saat. Jika dimensi mental ini dimiliki dan dipergunakan maka akan terasa kesegaran hidupnya, buktikan! Bukan saja ilmunya bertambah, amalnya pun ikut bertambah dan yang menarik ba­nyak hal-hal baru didapat. Karena itu dimensi mental ini perlu diasah. Jangan sampai dimensi mental ini berhenti mes­kipun tidak ada ujian.. Sebagaimana ungkapan hikmah berikut:

أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّحْدِ

Artinya: ”Tuntutlah ilmu semenjak buai­an hingga ke liang lahat.”

Karena menunut ilmu tidak boleh berhenti hingga ke kubur, Rasulullah saw mewajibkan setiap muslim. Ini ada­lah dimensi mental yang mesti dilak­sanakan oleh setiap mulsim. Jadi jika hidupnya lebih bermakna maka asahlah dimensi mental melalui belajar!

Ketiga: Dimensi Spiritual
Dimensi ini paling penting. Karena nilai manusia, fokus manusia, dan nilai hi­dup­­­nya adanya di dalam spiritual; Mak­na spiritual ini bisa diperoleh mana­kala kita bisa merasakan bagaimana shalat yang nikmat; bagai­mana dzikir yang nik­mat. Justeru itu akan terbentuk jika kita pandai mengasahnya. Setiap manu­sia ber­potensi untuk menja­lan­kannya, dan hasilnya pun berbeda-beda biasanya dise­­but de­ngan pengalaman spiritual.

Dalam kitab Al Hikam diceritakan ada orang yang merasakan nikmatnya shalat setelah mengerjakan selama 20 tahun, ada yang membaca Al Qur’an merasakan nikmatnya setelah mendawamkan sela­ma 15 tahun. Jadi, dimensi spiritual ini akan tercipta dengan sendirinya mana­kala beristiqamah dan bersabar.

Keempat: Dimensi Sosial Emosi
Manusia sebagai makhluk sosial atau bermasyarakat mestinya mengerti dan menyadari hidup. Silahkan ikut arus tapi harus mampu dan ikut berenang. Sebab zaman sekarang tidak kuat mela­wan arus; Sama persis dengan arus gelom­bang laut yang tidak me­nentu: kadang besar, kadang kencang bahk­an menjadi tsunami. Agar jangan sampai menjadi korban arus laut, segera menepi dengan cara berenang. Celakalah mereka yang tidak bisa berenang. Cara berenangnya menggunakan Baju Taat seperti nasehat Luqmanul Hakim pada puteranya:

المــــلح الطــــــا عات
Artinya: Baju renangnya adalah taat!

Arus deras kini sudah masuk ke ruangan kita dan telah menjadi kebiasaan keseharian. Ahir­nya tidak heran, ketika anak dila­rang nonton TV ia akan lari ke tetang­ga. Jadi kita mesti ber­pacu dengan dajjal-dajjal yang masuk ke ruangan kita. Akhirnya kita mesti me­ngerti bagaimana cara hidup dan harus belajar terus-menerus bagai­mana cara berenang.
Wallahu A’lam (MK)

No comments: