22 March 2007

Kematian yang Tragis | Pelajaran bagi yang Siap Mati

Sebuah Analisa Berita

Dalam satu minggu ke belakang ada dua peristiwa kematian yang mengerikan. Pertama, kejadian seorang ibu membunuh ke empat anaknya lalu membunuh dirinya sendiri. Kedua, ditembaknya seorang Wakapolwiltabes Semarang oleh anak buahnya sendiri dengan pistol. Itulah potret ajal manusia dengan berbagai macam caranya. Seolah peristiwa tersebut memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia.

Pelajaran apa? Salah satunya adalah pelajaran tentang bagaimana memaknai kemiskinan. Dua peristiwa itu jika dirunut ada benang merah yang merajuti masalah kemiskinan. Bagi si ibu yang membunuh empat orang anaknya, lalau membunuh dirinya sendiri, dalam berita lansiran media, diduga kuat karena kemiskinan mendera keluarganya setelah usahanya bangkrut sehingga suaminya merantau ke kota lain demi mencari pekerjaan untuk mengurangi beban hidupnya yang tinggi sebab ke empat anak-anaknya disekolahkan pada lembaga pendidikan elit. Pada peristiwa penembakan Wakapolwiltabes Semarang, juga diduga kuat karena rasa tidak setuju anak buahnya dipindahkan ke tempat yang dianggap kurang menguntungkan.

Ketika kemiskinan menjadi bagian dari kehidupan seseorang, maka tidak setiap orang mampu menahan deritanya. Sebab saat ini, tidak sedikit orang menganggap bahwa kemiskinan harta merupakan momok yang memalukan. Ajaran eksistensialis memberikan wacana bahwa keberadaan seseorang dilihat dari eksistensinya saat itu. Jika saja kemiskinan dianggap oleh orang ramai sebagai bagian dari suatu keadaan yang memalukan, maka siapapun yang dihinggapi keadaan ini akan memberontak, dan menghindari keadaan ini, apapun caranya. Maka bagi yang memiliki kemampuan akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindar dari kemiskinan. Bagi yang sudah berusaha kemudian juga tetap gagal, maka daya tahan tiap orang berbeda-beda: yang berhati luas akan menerima dengan lapang dada, sementara yang berhati sempit dan dikuasi emosi akan memberontak baik kepada keadaan dan penyebabnya ataupun memberontak pada dirinya sendiri. Lahirlah depressi yang berujung kepada bunuh diri. Dua peristiwa di atas setidaknya menggambarkan dua keadaan orang yang sama-sama memberontak kepada kemiskinan.

Di dalam literatur keagamaan baik yang terstruktur maupun literatur yang ditutur, seringkali menyebutkan bahwa kemiskinan bukanlah sesuatu keadaan yang memalukan. Namun juga bukan sesuatu yang harus dikembangkan. Sebab bagi masyarakat yang memegang konsep keimanan kepada hal yang gaib, ketika kegagalan setelah berusaha, menerpa individu, yang disalahkan adalah dirinya dan yang dibenarkan adalah di luar dirinya. Di sini manusia diuji bahwa di dalam dirinya ada hal yang ghaib (misteri) yang tidak dipahami, dan di luar dirinya, ada Maha Gaib (Maha Misteri) yang pasti dipercaya memahami keadaan kemisterian dirinya. Karena itu, sebuah kegagalan hasil ikhtiar, merupakan peristiwa alami yang menjadi bagian sunnatullah, dan pasti ada hikmah terpendam yang sangat besar manfaatnya. Sebab tidak satupun makhluk yang stabil di dunia ini, hanyalah Allah Subhanahu Wata'ala yang maha Stabil. Pengingkaran akan hal tersebut yaitu mengingkari kelemahan diri (tidak stabil) bisa jadi merupakan embrio kemusyrikan. Bukankah dosa kemusyrikan itu tidak kecil porsinya.

Sebagai ikhtiar diri untuk bisa tetap survive baik dalam kondisi untung ataupun rugi maka kita bisa memahami ulang konsep-konsep keagamaan sebagai bagian dari filosofi hidup bahkan sebagia langkah action agar tetap dalam kondisi “tenang-tenang saja”.

Pertama, mestilah kita meredefinisi konsep “kesabaran” dalam literatur kegamaan dihubungkan dengan gaya management modern saat ini. Dalam pepatah arab bertutur: “Ashobru yu’inu ‘ala kulli amalin” kesabaran itu dapat menolong kepada setiap pekerjaan. Sabar di sini bisa diartikan sebagai konsep untuk berpegang teguh kepada aturan. Seandainya aturan ditaati, maka segala pekerjaannya menjadi lancar. Berarti berdisiplin dalam pekerjaan, jujur dalam aturan, mengikuti prosedur merupakan aplikasi dari konsep sabar di atas. Seandainyapun terjadi pelanggaran, maka karena ada aturan yang telah disepakati, konsekwensinya adalah menerima hukuman sebagai bagian dari pengingkaran konsep sabar. Kita bisa belajar kepada salah satu film Jepang sorang anak buah suatu geng mafia merasa gagal dalam tugas, ia memotong jarinya sendiri di hadapan sang ketua diskasikan anak buah yang lainnya, sebagai bagian dari rasa ketidak disiplinannya. Namun bukan untuk ditiru caranya, tetapi rasa tanggungjawabnya kepada aturan merupakan pelajaran berharga dari film tersebut.

واستعينوا بالصبر والصلوة
"Bermohonlah kepada Allah Subhanahu Wata'ala terhadap segala urusanmu dengan sabar dan shalat."

Di sini sabar dan sholat boleh jadi sebagai metodologi (sebuah ilmu) yang harus dipahami betul bahwa ternyata ada metode, cara yang ampuh untuk bisa menolongi segala urusan. Tanpa dua hal tadi, maka janganlah berharap segala urusan bisa disukseskan oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Karena sabar dan shalat adalah sebuah metodologi (ilmu) maka shalat ritual dan shalat aktual adalah dua ujung benang yang bersambung tanpa boleh terputus. Keduanya ini merupakan bagian dari ibadah baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian.

Kedua, bagi pemegang kekuasaan peristiwa tadi merupakan ujung protes yang mesti ditanggapi dengan serius. Karena betapa negara yang tengah berbenah ini masih menyisakan berbagai derita dan itu menimpa bagi siapa saja. Protes ini merupakan ketidakmampuan individu dalam menyikapi keadaan. Entah apakah kurang cerdasnya masyarakat memahami diri atau tidak seriusnya negara dalam menangani berbagai masalah yang bertubi-tubi datangnya. Sepertinya pemerintah masih kesulitan dalam mengaplikasikan ilmu sabar diterapkan kepada jajaran instansinya. Apalagi ilmu shalat aktual.
Keadaan ini mestilah dijadikan hikmah bagi siapa pun baik pemerintah maupun individu masyarakat. Kemiskinan yang mendera bangsa bukan sulit untuk diatasi, namun kesabaran mengatasinyalah yang sulit mengaktual dalam kehidupan.

Agaknya, suara-suara ulama di berbagai tempat tidak kurang dalam memberikan wacana seperti ini. Pesantren di mana-manapun tidak kurang mengajarkan kesabaran, hanya sayangnya gaung para ulama kurang bisa menembus hati para penguasa. Semoga dua peristiwa tadi menjadi pelajaran bagi para elit agar kembali kepada metode mengatasi masalah dengan sabar dan shalat. Baik sabar atau shalat ritual maupun aktual.
Wallahu a’lam.

No comments: