22 March 2007

Toleransi Lahir dari Pesantren Juga loh...

Membaca judul tulisan "Pergaulan dengan Non Islam" di sini, terkesan adanya semacam “ketidaktahuan pesantren” terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan pergaulan antar agama. Padahal kalau boleh jujur, justru pesantren bukan saja yang mengkampanyekan ayat-ayat tersebut malah mempraktekkanya dalam kehidupan sehari-hari. Mau bukti...?

Sebelumnya penulis artikel itu, Pak Latif bertutur: “Inilah kumpulan2 ayat2 ALLAH yang saya temukan di al Quran, semoga para pembaca budiman dapat mengambil manfaatnya dan dapat mengaplikasikan peraturan2 ALLAH ini dalam kehidupan sehari hari. Ayat2 dibawah kemungkinan sekali para pembaca tidak pernah mendengarnya di mesdjid2 dan di pengajian2. Jadi banyak sekali umat islam yang tidak tahu akan perintah2 ALLAH yang penting ini.”

Dari ayat-ayat yang saya baca, setidaknya saya ingin menyoroti kepada dua hal saja:
1. Ada anggapan bahwa ayat-ayat yang diungkapkan oleh beliau agar kita bersama-sama berteman dengan orang-orang berlainan agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. “dari ayat yang Allah Subhanahu Wata'ala menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal”.

2. Agama selain Islam yang masuk dalam kategori agama langit hendaknya diterima sebagai agama juga yang sah dan bisa dijadikan sebagai komponen masyarakat Indonesia dan dijadikan sebagai bagian dari komponen masayarakat Indonesia.

Dan masih banyak lagi ide-ide yang lain namun saya hanya ingin menyorotin dua hal tersebut.

Toleransi itu dalam IslamBahwa tidak tenarnya ayat-ayat tentang kenyataan ada agama lain selain Islam dianggap tidak tenar dan jarang ditemui (ditulis dengan huruf kapital), seolah-olah menganggap bahwa di pesantren-pesantren atau komunitas pengajaran agama yang kami dapatkan tidak diajarkan. Menurut saya ini merupakan kesimpulan yang salah kaprah. Seakan-akan kami memusuhi umat agama lain dan menjadi rival. Di sisi lain terkesan menganggap para kyai dan guru-guru agama sangat tidak paham dengan ayat-ayat itu.

Menurut saya pesantren tidak pernah menganggap adanya agama lain selain Islam sebagai “musuh” malahan merupakan sebuah sinergi terhadap agama Islam itu sendiri. Islam datang sebagai agama yang rakhmatan lil’alamin adalah bukti kongkrit bahwa agama ini sangat mengajarkan toleransi. Sementara agama lain yang dalam kasus politik di Amerika sangat kentara kurang bisa memberikan wahana toleransi. Sebagai contoh kasus kecil, di Parlemen Amerika, Keith Ellison salah satu anggota perlemen dari Minosetta yang kebetulan beragama Islam terkena diskriminasi agama. Dalam prosesi sumpah, beliau merasa kesulitan karena undang-undang di sana masih diharuskan beragama Kristen dan disumpah dengan kitab Injil. Ketika hal ini diperdebatkan, akhirnya majlis memutuskan boleh disumpah dengan Al Qur’an tapi qur’an yang dipakai adalah khsusus koleksi dari perpustakaan Thomas Jefferson, saja bukan qur’an yang lain. Ini bagaimana? Menurut Syu’bah Asa, mantan editor senior di Tempo mengatakan bahwa itulah sebabnya mengatapa toleransi itu adanya dalam Islam.

Kyai Buntet Juru Damai Konflik AgamaBuntet dalam bergaul dengan agama lain sangat tidak abai dalam persoalan ini. Dari cerita di bawah ini bagaimaan Buntet bisa membuktikan mampu bergaul dengan agama lain bukan saja dalam wacana melainkan praktek nyata dan membawa dampak semangat “rakhmatan lil a’alim”.

Adalah KH. Cecep Khowas, pimpinan asrama Al Muttaba’ beliau pernah diundang di salah satu daerah di Timor Tengah bagian terdekat dengan perbatasan Atambua Timor Timur. Dulu ketika masih integrasi dengan Indonesia, kang Cecep setengah dipaksa untuk bisa memediatori konflik agama di sana. Antara Protestan dan Katolik.

Maka berceritalah kang Cecep kepada dalam sebuah obrolan hangat bersandingkan teh hangat di terang depan asramanya.
Menututnya, saat itu saya disuruh untuk bisa mempertemukan dan mendamaikan dua kubu yang saling berseteru dan sudah turun-temurun. Tantangan ini sangat berbahaya sebab saya tidak memahami betul kultur disana. Lalu dengan ide saya, akhirnya mereka dikumpulkan di dalam suatu kesempatan dalam peringatan Maulid Nabi besar Muhammad saw di daerah yang banyak komunitas Islamnya. Di sana ada santri Buntet yang pernah mondok lalu menjadi guru agama. Saya sangat bangga dengan alumni Timor di sana yang sangat menjaga kedamaian dan pergaualan antar agama. Betapa salutnya saya kepada alumni Buntet di sana dan hampir tidak percaya, bagaimana mungkin dalam setiap acara peringatan hari besar Islam masyarakat yang hadir bukan saja dari komunitas Islam namun dari berbagai agama yang ada di sana dan yang masih memegang adat istiadat (tidak beragama). Ini luar biasa yang jarang ditemui di tempat manapun.

Dengan bermodalkan kultur yang cukup bagus akhirnya saya memberanikan diri untuk pergi ke sana dalam rangka memberikan wacana pemahaman akan pentingnya persatuan. Bismillah dengan mendapatkan izian dari sesepuh Buntet Pesantren, KH. Abdullah Abbas dan para kyai sepuh lainnya dari Buntet, akhirnya berangkatlah ke sana.

Sambutan luar biasa dan tidak bisa diduga sama sekali. Peringatan Mualid itu ternyata membawa berkah yang sangat berkesan di hati dan tidak dilupakan sepanjang hayat saya. Bagaimana tidak, waktu itu saya dalam sesi yang menegangkan mempertemukan Pendeta dari pihak Protestan dan Romo dari pihak Katolik. Padahal dua petinggi agama di sana belum pernah bertemu dalam satu forum.

“Pak kyai, saya sangat berterima kasih sekali kepada pak kyai dengan perantaraan Anda saya bisa bertemu dan bersalaman dengan Pak Pendeta, padahal saya sebelumnya belum pernah bertemu.” Kata pemimpin Katolik. Ungkapan yang sama dilontarkan pula oleh pak Pendeta dari pihak Protestan. Demikian ucapan itu membuat hati saya sangat bahagia waktu itu.
“Sebenarnya nasehat apa sih yang Kang Cecep berikan kepada mereka sehingga bisa berdamai begitu tulus”, kata saya penasaran.

“Ya saya terangkan saja bahwa di dalam Islam banyak ayat-ayat yang menerangkan agar kita mengakui dan mengimani adanya Nabi Isa 'Aalaihissalam (Yesus dalam ungkapan mereka) sebagai pemimpin agama Nasrani.” Itu saja yang saya terangkan dengan berbagai macam bumbu yang intinya buat apa bertengkar toh pada akhirnya akan merugikan semua pihak.
Dari cerita ini saya yakin Buntet sangat hafal dengan ayat-ayat yang dilontarkan pada tulisan teresebut dan benar-benar mempraktekkan dalam membawa misi agama Islam sebagai rakhmatan lil ‘alamin.

Pancasila Lahir dari UlamaKomentar saya pada bagian kedua tulisan teman Pak Latif dari London bahwa agama selain Islam yang masuk dalam kategori agama langit hendaknya diterima sebagai agama yang sah dan bisa dijadikan sebagai komponen masyarakat Indonesia. Bagi saya, ini pun bukan isu baru dan sepertinya tidak memahami kultur budaya NU dan pesantren.

Bagaimana mungkin jika Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan berbangsa dan bernegara itu justru lahir dari masyrakat NU bukan dari organisasi keagamaan lainnya. Apalagi yang berpaham kebangsaan.
Kedua, bahwa siapapun yang menentang Pancasila, maka kyai-kyai NU seolah-olah siap pasang badan jika ada orang lain yang berani-berani mengubah asas kebangsaan dari pancasila ke asas lainnya. Meskipun seolah-olah Islami.
Gus Dur, salah satu dari komponen NU begitu gencarnya mengkampanyekan pluralisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran-pemikiran beliau mengkristal dan menjadi buah perbincangan dan menjadi acuan pemikiran para generasi muda selanjutnya misalnya dari Lakpesdam NU anak-anak NU yang terlibat dalam JIL. Dalam ormas Muhammadiyah pun, membentuk JIMM (Jaringan Inetelektual Muda Muahmmadiyah). Hal ini merupakan bukti upaya dalam memanaj hidup berbangsa untuk menjaga sikap dan sifat plural. Sehingga sangat naif jika Islam hanya sebagai agama yang yang dianut sementara implementasi sosialnya masih cenderung egois.

Memang ada upaya-upaya dari pihak di luar kultur pesantren yang berupaya menjegal adanya pancasila dan hendak diganti oleh semangat syaria’at Islam. Namun itulah menurut saya, bagian dari rakhmat di alam ini. Bukankah perbedaan dalam penafsiran beragama merupakan rakhamt bagi kita. Namun tetap sikap NU dan masyarakat pesantren yang di bawah naungan NU begitu tegas bahwa Islam kultur adalah lebih mengena dalam berdakwah ketimbang islam Impor yang kadang berbenturan dengan berbagai komponen sosial masyarakatnya.

Menurut saya artikel tadi tidak tepat ditujukan kepada pesantren akan lebih baik diajukan kepada komponen yang semangat untuk menegakkan “syaraiat Islam”. Karena pasti di sana akan terbelalak dengan alergi dengan isi artikel di atas. Namun bagi pesantren bukan hal baru isu-isu seperti itu. Wallahu a’lam